Tradisi Tanpa Henti
 |
Prosesi Perang Obor |
A. Sejarah Perang Obor
Perang Obor secara antropologis merupakan bagian
dari sebuah masyarakat yang masih bersifat mistis. Upacara yang demikian itu di
dalam etnologi disebut sebagai magi imitatis. Dari segi tertentu, perang obor
juga bisa dilihat sebagai magi imitatis. Obor dapat menimbulkan sebuah senjata
yang dapat mengusir musuh baik yang berupa manusia, binatang dan rh-roh jahat.
Pada awalnya magi imitasi yang berupa perang obor ini dipercaya merupakan
simbol untuk mengusir berbagai penyakit baik yang diderita oleh binatang
peliharaan maupun masyarakat desa Tegalsambi.
Setelah datangnya
pengaruh Islam, kemungkinan besar tradisi ini dibungkus dengan cerita-cerita
yang berbau Islam. Dalam hal ini tradisi Perang Obor dikaitkan dengan
upaya-upaya para tokoh Islam untuk untuk menyebarkan agama Islamdi kawasan ini.
Dalam versi Islam, asal-usul tradisi Perang Obor ini dikaitkan dengan
tokoh-tokoh walisanga yang memiliki kewibawaan kharismatik di kawasan ini.
Cerita asal-usul
tradisi Perang Obor berasal dari zaman Kerajaan Demak. Pada masa itu, di desa
Tegalsambi menetap seorang petani kaya yang bernama Kyai Babadan. Kekayaan yang
diperoleh dari kerja keras sebagai seorang petani itu ditabung dengan cara dibelikan
kerbau dan sapi untuk diternakkan. Sapi dan kerbau yang diternakkan tersebut
sangatlah banyak sehingga Kyai Babadantidak mampu menggembalakannya sendiri. Ia
berfikir harus mencari orang yang mau dipekerjakan sebagai penggembala.
Kebetulan di desa itu ada seorang yang bernama Ki Gemblong yang dapat
menggembalakan semua ternaknya. Oleh karena itu, kemudian Kyai Babadan memintaKi
Gemblong menggembalakan ternaknya. Ki Gemblong menyanggupi pekerjaan yang
diberikan oleh Kyai Babadan kepadanya yaitu menggembalakan ternak-ternak Kyai
Babadan. Namun semua itu ternyata di luar dugaan Kyai Babadan, sebab Ki
Gemblong tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan kesanggupannya. Sebaliknya Ki
Gemblong bahkan menelantarkan kerbau dan sapi milik Kyai Babadan sehinggga semua
ternak tersebut menjadi kurus dan penyakitan.
Pada waktu mengembala
ternak-ternak tersebut, Ki Gemblong lebih senang dan asyik menangkap ikan dan
udang di sawah-sawah dan di sungai daripada mengembala ternak milik Kyai
Babadan. Dia tidak mempedulikan apakah sapi dan kerbau yang digembalakannya
memperoleh makanan yang cukup atau tidak.Ki Gemblong juga tidak mau untuk
membersihkan dan memandikan ternak-ternak yang digembalakannya tersebut. Oleh
sebab itu tidak mengherankan jika ternak milik Kyai Babadan yang
digembalakannya menjadi kurus kering dan sakit-sakitan. Pada awalnya memang Ki
Gemblong masih bisa menyembunyikan keadaan tersebut,namun demikian pada
akhirnya Kyai Babadan pun mengetahui keadaan sapi dan kerbaunya. Kyai Babadan
menjadi geram ketika melihat bahwa kondisi ternak miliknya yang kurus dan
sakit-sakitan itu disebabkan oleh keteledoran yang disengaja oleh Ki Gemblong.
Oleh karena kegeramannya yang memuncak maka Kyai Babadan menghajar Ki Gemblong
dengan menggunakan obor dari pelepah kelapa. Menerima perlakuan yang demikian
ini, Ki Gemblong ternyata tidak tinggal diam. Ia juga segera mengambil pelepah
daun kelapa untuk selanjutnya dinyalakan sebagai obor untuk menghadapi Kyai
Babadan. Selanjutnya terjadilah pertarungan atau perang obor antara Kyai
Babadan dan Ki Gemblong. Pertarungan tersebutsemakin lama tidak semakin mereda melainkan
semakin bertambah seru, sehingga kobaran-kobaran api yang ditimbulkannya
mengakibatkan terbakarnya kandang sapi dan kerbau. Akibatnya kerbau dan sapi
yang berada di kandang berlarian ketakutan. Namun anehnya ternak yang semula
berpenyakitan malah menjadi sembuh. Setelah mengetahui kenyataan seperti itu
mereka berdua pun akhirnya melerai perkelahian mereka.
Berdasarkan tradisi
lisan yang berkembang di kalangan masyarakat Tegalsambi, sejak itu anak-cucu
Kyai Babadan dan Ki Gemblongselalu melakukan upacara perang obor di Tegalsambi
untuk mengenang kedua tokoh tersebut dan sekaligus upacara Perang Obor ini
dimaksudkan untuk mengusir segala roh jahat yang mendatangkan penyakit. Upacara
ini dilengkapi pula dengan pagelaran wayang kulit. Selain itu terdapat pula prosesi untuk mengarak empat pusaka (dua
pedang : Gendir Gampang Sari dan Podang Sari, sebuah arca, dan sebuah bedug
Dobol) yang dipercayai sebagai warisan dari Sunan Kalijaga kepada KebayanTegalsambi. Kedua pedang kayu itu
konon, merupakan serpihan kayu yang digunakan untuk membangun Masjid Demak.
B. Perkembangan dan Perubahan
Sebagaiman yang telah
dijelaskan di atas bahwa kemungkinan besar upacara Perang Obor atau obor-oboran
ini sudah ada sebelum agama Hindu, Budha dan Islam datang.Perang obor tersebut
merupakan bentuk upacara magi imitatis yang berfungsi untuk pengusiran roh
jahat yang mendatangkan penyakit. Gerakan-gerakan tari yang menggambarkan perjuangan
untuk mengalahkan musuh menimbulkan adanya perjuangan untuk mengusir kekuatan
jahat yang membawa
penyakit.
Perang Obor ini bukan hanya berupa gerakan perang obor
saja, melainkan ada kirab membawa benda-benda pusaka, halini menunjukkan adanya
perubahan-perubahan dalam pelaksanaan upacara perang obor itu sendiri. Perubahan
dalam pelaksanaan tersebut terjadi sejalan dengan datangnya pengaruh-pengaruh
baru dalam masyarakat desa Tegalsambi. Adanya kenyataan bahwa salah satu benda
yang dipandang sebagai pusaka berupa arca dalam kirab itu menandakan masuknya
pengaruh Hindu dalam upacara itu. Seperti diketahui bahwa patung sebagai
personifikasi Tuhanbelum dikenal dalam kepercayaan animisme dan tidak
diperbolehkan dalam agama Islam.
Namun demikian ketika
agama Islam datang, maka upacara perang obor ini pun juga mendapatkan sedikit
warna Islam. Hal itu bisa dilihat dari salah satu benda yang diarak adalah
sebuah bedug yang merupakan warisan dari Sunan Kalijaga (salah satu wali sanga)
dan dua buah pedang kayu yang bahannya dipercaya berasal dari bahan yang sama
yang digunakan untuk membuat soko guruMasjid
Demak.
Dilihat dari fungsinya,
tradisi perang obor ini juga mengalami perubahan-perubahan. Jika pada zaman pra
Islam tradisi ini difungsikan sebagai pengusir kekuatan roh jahat yang
mendatangkan wabah penyakit. Pada masa Islam upacara ini digunakan sebagai
ajang untuk syiar Islam yang bisa dilihat dari beberapa simbul yang
digunakannya. Upacara tersebut waktu pelaksanaannya diadakan pada masa-masa
puncak panen. Semua itu dilakukan sekaligus sebagai luapan rasa syukur
dikalangan masyarakat setelah mereka bisa menikmati hasil panen.
Perkembangan dan
perubahan tradisi perang obor ini juga dipengaruhi oleh perubahan ekologi dan ekonomi. Pada zaman dahulu,
untuk mengumpulkan pelepah daun kelapa dan daun pisang kering bukanlah
pekerjaan yang sulit. Pada saat ini ketika jumlah pohon kelapa sudah mulai
berkurang seringkali para peserta harus membeli daun kelapa daun tersebut dengan
cara memesan terlebih dahulu untuk kepentingan upacara. Kesulitan ini juga
berhubungan dengan jumlah penggembala yang tidak lagi sebanyak zaman dulu. Pada
masa duhulu jika menjelang upacara perang obor, para perangkat desa tinggal
memberi tugas kepada penggembala dan orang yang memiliki sapi untuk menyiapkan
daun kelapa kering dan bahkan memerintahkan mereka untuk menjadi pemain utama
dalam upacara tersebut. Semua ini juga berkaitan dengan kenyataan bahwa legenda
perang obor ini berasal dari dunia penggembalaan. Pada saat ini sudah semakin
sedikit orang yang berprofesi sebagai buruh penggembala maka para pemain perang
obor biasanya para pemuda desa yang mempunyai nyali untuk melakukan upacara ini
dan biasanya mendapatkan upah dari pemerintahan desa.
C. Tujuan Penyelenggaraan
Jika diamati secara seksama, pada
saat ini upacara tradisi perang obor merupakan upacara selamatan yang dilakukan
oleh warga Tegalsambi untuk melakukan syukur kepada Tuhan yang telah memberikan
hasil panen kepada segenap masyarakat desa Tegalsambi. Upacara selamatan atas
keberhasilan panen dari warga desa ini sangat berbeda dengan daerah lain.
Upacara dilakukan pada malam hari dengan acara puncak Perang Obor. Para peserta
perang obor dengan menggunakan obor masing-masing saling menyerang maka seluruh
peserta dapat menyelesaikan perang obor tersebut dengan selamat. Selain perang
obor sebetulnya ada juga perang ketupat, ada juga yang wajib memandang
matahari. Semua untuk bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi berkah. Dengan
demikian pada saat ini tradisi perang obor merupakan upacara dalam rangka
sedekah bumi desa Tegalsambi yang bertujuan untuk bersyukur kepada Tuhan yang
telah memberikan hasil panen yang melimpah.
D. Manfaat
Menurut penuturan dari para sesepuh
desa Tegalsambi, bahwa manfaat upacara manganan ini pada awalnya adalah untuk
mengusir kekuatan jahat pembawa wabah penyakit. Namun demikian dengan datangnya
prngaruh Islam, upacara ini difungsikan sebagai memanifestasikan rasa syukur
kepada Tuhan dan dalam rangka untuk membangun kebersamaan dan kegotong-royongan
diantara warga desa Tegalsambi.
E. Peralatan dan Simbul-simbul Upacara
Peralatanutamapeserta dengan
dibekali kepercayaan dari sesepuh desa yang dibutuhkan dalam upacara perang
obor ini adalah pelepah daun kelapa kering (blarak). Selain itu juga dibutuhkan
daun pisang kering sebagai campuran bahan pembakar daun kelapa tersebut. Campuran
pelepah daun kelapa kering dengan daun pisang ini kemudian ditata dengan bentuk
tertentu sehingga bisa digunakan untuk memukul ataupun menusuk lawan. Pakaian
yang digunakan sudah menggunakan seragam khusus untuk acara ini. Pada saat ini
para pemain cenderung menggunakan pakaian yang bisa melindungi badan mereka
dari pukulan obor yang bisa membuat kulit menjadi melepuh. Namun demikian pada
zaman dahulu para pemain justru menggunakan pakaian yang sudah jelek dengan
pertimbangan jika terbakar mereka tidak merasa sangat kehilangan. Jadi
peralatan obor yang terbuat dari daun kelapa dan daun pisang kering merupakan
peralatan yang memang sesuai dengan apa yang diceritakan dalam legenda Kyai
Babadan dan Ki Gemblong. Sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa obor
dapat merepresentasikan sebuah simbul yang merupakan alat untuk mengusir
kekuatan jahat yang mendatangkan penyakit dan berbagai malapetaka yang lain.
Peralatan yang digunakan adalah beberapa benda yang dipandang keramat oleh
masyarakat desa Tegalsambi yang diarak pada waktu prosesi perang obor akan
berlangsung yaitu sebuah arca, dua pedang kayu, dan bedug. Ada kemungkinan
bahwa arca itu merupakan perwujudan dari arwah nenek moyang yang bisa
melindungi desa (dhanyang). Namun demikian anggapan seperti itu pada saat ini
sudah hilang seiring dengan pemahaman masyarakat yang semakin mendalam tentang
agama Islam. Sementara itu dua buah pedang kayu dan sebuah bedug yang diyakini
oleh masyarakat sebagai peninggalan Sunan Kalijaga jelas merepresentasikan
simbul-simbul kekuatan dalam syiar Islam. Dari hal tersebut dapat dijelaskan
bahwa Islam bukanlah agama yang lemah tetapi agama yang kuat (disimbolkan
pedang), namun masih tetap mengedepankan ajakan-ajakan yang persuasif
(disimbolkan dalam bedhug).
Menurut berbagai sumber informasi
tidak banyak orang yang dapat melihat pusaka-pusak tersebut karena ditempatkan
disebuah ruangan khusus yang primpen
dirumah kepala desa. Terdapat cerita bahwa dahulu pernah ada kamerawan TV
swasta yang mengambil gambar pusaka itu tetapi gambar tersebut tidak dapat
muncul dikamera. Layaknya seorang bayi, pusaka dari kayu sepanjang 40 cm itu diblebet kain putih berposisi
menggantung di dipan kecil. Ujung
atas pusaka tersebut diberi alas bantal kecil, juga terdapat bantal guling di
sisi kanan dan kirinya. Menurut kepercayaan, siapapun petingginya, harus rela
rumahnya menjadi tempat pusaka itu. Para
kepala desa biasanya meyakini bahwa pusaka-pusaka itu ditunggui oleh khodam
atau semacam makhluk halus. Mereka yakin bahwa sedikit saja terjdi penyimpanga-penyimpangan
dalam tugas sebagi kepala desa maka akan berakibat fatal. Dengan demikian
pusaka-pusaka itu menjadi pengeling atau sebagai pembei peringatan jika akan
berbuat penyimpangan.
Ada juga cerita yang mengatakan
bahwa pedang kayu berasal dari kayu reng masjid Demak yang diambil Ki Dawuk,
leluhur Tegalsambi, sebagai senjata dalam peperangan antara kerajaan Demak pada
masa Raden Fatah dan Kerajaan Blambangan. Nama Dawukyang dalam bahasa Jawa
berarti abu-abu yang merupakan warna kuda tunggangan Ki Dawuk. Namun, saat ini
makam Ki Dawuk diTegalsambisudah musnah (moksa).
F.
Prosesi
Upacara
Perang obor dilakukan oleh sekitar
50 orang warga desa. Jika kulit melepuh atau lebam kena gebuk akibat perang
itu,luka tersebut bisa dipulihkan dalam sekejap dengan olesan londoh. Oleh
masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai keajaiban dari Tuhan. Hal semacam
ini bukan hanya diyakini olehmasyarakat awam juga dari pimpinan didesa itu.
Namun demikian para perangkat desa tidak mau menjelaskan air londoh itu berasal
dari mana dan apa formulannya.
Tradisi perang obor merupakan
ungkapan rasa terimakasih manusia kepada Tuhan yang telah memberi rejeki kepada
masyarakat desa Tegalsambi melalui panen yang melimpah. Biasanya upacara ini
dilakukan setiap setahun sekali dengan memilih waktu yang tepat dan pada malam
senin pahing. Apa yang sangat menarik adalah bahwa jika ada perang obor,warga
Tegalsambi dirantau pun rela meninggalkan pekerjaannya untuk pulang kampung.
Mereka yakin bahwa apa yang dilakukannya akan membuat desanya selamat dari
marabahaya dan sekaligus sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Tuhan.
Sebelum acara perang obor dimulai,
terlebih dulu diadakan selamatan ditujuh tempat yang dikeramatkan oleh
masyarakat Tegalsambi. Setelah itu dilakukan penyembelihan seekor kerbau jantan
muda yang belum pernah dipakai untuk membajak. Penyembelihan ini dilakukan
dirumah kepala desa. Pada pukul 17.30 (menjelang malam senin pahing)salah satu
perangkat desa (biasanya bayan/seksi keamanan) menaruh sesaji (berupa kendil berisi
darah kerbau,sebagian jeroan,dan daging yang sudah dimasak). Sesaji ini
diperuntukan bagi para dhanyang yang dipercayai ikut menentukan keselamatan
desa Tegalsambi.
Menjelang pukul 20.00,sepanjang
jalan menuju kerumahnya dipadati ribuan pengunjung baik dari desa setempat
maupun desa-desa lain. Sebelum api obor disulut pada pukul 20.00,petinggi desa
diarak oleh pasukan obor mulai dari rumahnya hingga kepusat upacara
diperempatan jalan tengah desa.petinngi menggenakan pakaian adat jawa,diapit
dua pawang api dan sesepuh desa.
Tepat pukul 20.00, upacara perang
obor dimulai. Para peserta yang punggut biaya sebesar Rp 2.500,- perorang
memakai seragam khusus, bersepatu dan bertutup kepala. Doa-doa memohon restu
kepada dhanyang(pengusaha bumi Tegalsambi) pun dilakukan. Kemenyan dibakar,
kemudian diiringi gending Kebo giro 50 orang dari empat jurusan dijalanan desa
Tegalsambi menghambur keperempatan jalan.
Diiringi sorak-sorai dan jerit
ketakutan para penonton, mereka main gebuk dengan obor. Tak peduli yang digebuk
kakak, adik, orang tua atau mungkin kakeknya. Percik-percik bunga api menjadi
pemandanagn tersendiri dipesisir teluk awur itu. Hal ini dimulai ketika salah
satu dari’pemain’ perang obor ini berteriak : “Seraaang...!” Para anggota
pasukan yang menggunakan sepatu dengan celana dan baju pembungkus rapat, kepala
mereka tertutup topi, caping atau helm pelindung dan hanya dua mata yang
terlihat membelalak branggas itu segera siap sedia. Mendengar teriakan itu,
anggota pasukan lari dari empat arah berlawanan diperempatan jalan. Mereka
bertemu ditengah dan berlangsung saling hajar. Api yang bekobar dujung obor
mereka arahkan kekepala “lawan” –nya. Upacara berlangsung bukan hanya
diperempatan desa tetapi juga disepanjang jalan disekitar perempatan.
Di tengah–tengah atraksi yang penuh
kekerasan itu anak-anak dgendongan ibunya disekitar kejadian ada yang menangis
pilu melihat pijar api dan mendengar teriakan-teriakan “perang” . kontras
dengan sebagian anak yang menangis, sebagian besar ribuan mata yang menyaksikan
justru sorak-sorai dan bertepuk tangan riuh. Mereka bahkan ‘memprovokasi’
sekelompok anggota pasukan untuk memadamkan bara api lawannya. Meski demikian,
senyum hangat dan keakraban tampak ditengah ‘provokasi’.
Sesuai upacara perang obor bnyak
anggota pasukan obor yang ditangannya terluka lecet. Sekitar satu jam
‘peperanagan’ usai para anggota pasukan langsung menuju rumah kepala desa untuk
menerima uang lelah sekadarnya sekaligus mengobati luka dengan air kembang dari
pusaka desa bernama Ki Songgo Buwono yang diruwat dirumah kepala desa. Dengan
demikian, upacara perang obor tak bisa lepas dari keberadaan pusaka tesebut.
LAMPIRAN
 |
Do'a bersama sebelum acara dimulai |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
 |
Gulungan zobor
yang akan digunakan dalam upacara |
 |
Prosesi perang obor |
 |
Kemeriahan perang obor |
 |
Para pemain sedang menyembuhkan luka bakar dengan londoh
|