Selasa, 18 Maret 2014

Tradisi Perang Obor Jepara

Tradisi Tanpa Henti

Prosesi Perang Obor



A.       Sejarah Perang Obor

Perang Obor secara antropologis merupakan bagian dari sebuah masyarakat yang masih bersifat mistis. Upacara yang demikian itu di dalam etnologi disebut sebagai magi imitatis. Dari segi tertentu, perang obor juga bisa dilihat sebagai magi imitatis. Obor dapat menimbulkan sebuah senjata yang dapat mengusir musuh baik yang berupa manusia, binatang dan rh-roh jahat. Pada awalnya magi imitasi yang berupa perang obor ini dipercaya merupakan simbol untuk mengusir berbagai penyakit baik yang diderita oleh binatang peliharaan maupun masyarakat desa Tegalsambi.
Setelah datangnya pengaruh Islam, kemungkinan besar tradisi ini dibungkus dengan cerita-cerita yang berbau Islam. Dalam hal ini tradisi Perang Obor dikaitkan dengan upaya-upaya para tokoh Islam untuk untuk menyebarkan agama Islamdi kawasan ini. Dalam versi Islam, asal-usul tradisi Perang Obor ini dikaitkan dengan tokoh-tokoh walisanga yang memiliki kewibawaan kharismatik di kawasan ini.
Cerita asal-usul tradisi Perang Obor berasal dari zaman Kerajaan Demak. Pada masa itu, di desa Tegalsambi menetap seorang petani kaya yang bernama Kyai Babadan. Kekayaan yang diperoleh dari kerja keras sebagai seorang petani itu ditabung dengan cara dibelikan kerbau dan sapi untuk diternakkan. Sapi dan kerbau yang diternakkan tersebut sangatlah banyak sehingga Kyai Babadantidak mampu menggembalakannya sendiri. Ia berfikir harus mencari orang yang mau dipekerjakan sebagai penggembala. Kebetulan di desa itu ada seorang yang bernama Ki Gemblong yang dapat menggembalakan semua ternaknya. Oleh karena itu, kemudian Kyai Babadan memintaKi Gemblong menggembalakan ternaknya. Ki Gemblong menyanggupi pekerjaan yang diberikan oleh Kyai Babadan kepadanya yaitu menggembalakan ternak-ternak Kyai Babadan. Namun semua itu ternyata di luar dugaan Kyai Babadan, sebab Ki Gemblong tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan kesanggupannya. Sebaliknya Ki Gemblong bahkan menelantarkan kerbau dan sapi milik Kyai Babadan sehinggga semua ternak tersebut menjadi kurus dan penyakitan.
Pada waktu mengembala ternak-ternak tersebut, Ki Gemblong lebih senang dan asyik menangkap ikan dan udang di sawah-sawah dan di sungai daripada mengembala ternak milik Kyai Babadan. Dia tidak mempedulikan apakah sapi dan kerbau yang digembalakannya memperoleh makanan yang cukup atau tidak.Ki Gemblong juga tidak mau untuk membersihkan dan memandikan ternak-ternak yang digembalakannya tersebut. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ternak milik Kyai Babadan yang digembalakannya menjadi kurus kering dan sakit-sakitan. Pada awalnya memang Ki Gemblong masih bisa menyembunyikan keadaan tersebut,namun demikian pada akhirnya Kyai Babadan pun mengetahui keadaan sapi dan kerbaunya. Kyai Babadan menjadi geram ketika melihat bahwa kondisi ternak miliknya yang kurus dan sakit-sakitan itu disebabkan oleh keteledoran yang disengaja oleh Ki Gemblong. Oleh karena kegeramannya yang memuncak maka Kyai Babadan menghajar Ki Gemblong dengan menggunakan obor dari pelepah kelapa. Menerima perlakuan yang demikian ini, Ki Gemblong ternyata tidak tinggal diam. Ia juga segera mengambil pelepah daun kelapa untuk selanjutnya dinyalakan sebagai obor untuk menghadapi Kyai Babadan. Selanjutnya terjadilah pertarungan atau perang obor antara Kyai Babadan dan Ki Gemblong. Pertarungan tersebutsemakin lama tidak semakin mereda melainkan semakin bertambah seru, sehingga kobaran-kobaran api yang ditimbulkannya mengakibatkan terbakarnya kandang sapi dan kerbau. Akibatnya kerbau dan sapi yang berada di kandang berlarian ketakutan. Namun anehnya ternak yang semula berpenyakitan malah menjadi sembuh. Setelah mengetahui kenyataan seperti itu mereka berdua pun akhirnya melerai perkelahian mereka.
Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang di kalangan masyarakat Tegalsambi, sejak itu anak-cucu Kyai Babadan dan Ki Gemblongselalu melakukan upacara perang obor di Tegalsambi untuk mengenang kedua tokoh tersebut dan sekaligus upacara Perang Obor ini dimaksudkan untuk mengusir segala roh jahat yang mendatangkan penyakit. Upacara ini dilengkapi pula dengan pagelaran wayang kulit. Selain itu terdapat pula  prosesi untuk mengarak empat pusaka (dua pedang : Gendir Gampang Sari dan Podang Sari, sebuah arca, dan sebuah bedug Dobol) yang dipercayai sebagai warisan dari Sunan Kalijaga kepada KebayanTegalsambi. Kedua pedang kayu itu konon, merupakan serpihan kayu yang digunakan untuk membangun Masjid Demak.
B.       Perkembangan dan Perubahan
Sebagaiman yang telah dijelaskan di atas bahwa kemungkinan besar upacara Perang Obor atau obor-oboran ini sudah ada sebelum agama Hindu, Budha dan Islam datang.Perang obor tersebut merupakan bentuk upacara magi imitatis yang berfungsi untuk pengusiran roh jahat yang mendatangkan penyakit. Gerakan-gerakan tari yang menggambarkan perjuangan untuk mengalahkan musuh menimbulkan adanya perjuangan untuk mengusir kekuatan jahat yang membawa penyakit.
Perang Obor ini bukan hanya berupa gerakan perang obor saja, melainkan ada kirab membawa benda-benda pusaka, halini menunjukkan adanya perubahan-perubahan dalam pelaksanaan upacara perang obor itu sendiri. Perubahan dalam pelaksanaan tersebut terjadi sejalan dengan datangnya pengaruh-pengaruh baru dalam masyarakat desa Tegalsambi. Adanya kenyataan bahwa salah satu benda yang dipandang sebagai pusaka berupa arca dalam kirab itu menandakan masuknya pengaruh Hindu dalam upacara itu. Seperti diketahui bahwa patung sebagai personifikasi Tuhanbelum dikenal dalam kepercayaan animisme dan tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
Namun demikian ketika agama Islam datang, maka upacara perang obor ini pun juga mendapatkan sedikit warna Islam. Hal itu bisa dilihat dari salah satu benda yang diarak adalah sebuah bedug yang merupakan warisan dari Sunan Kalijaga (salah satu wali sanga) dan dua buah pedang kayu yang bahannya dipercaya berasal dari bahan yang sama yang digunakan untuk membuat soko guruMasjid Demak.
Dilihat dari fungsinya, tradisi perang obor ini juga mengalami perubahan-perubahan. Jika pada zaman pra Islam tradisi ini difungsikan sebagai pengusir kekuatan roh jahat yang mendatangkan wabah penyakit. Pada masa Islam upacara ini digunakan sebagai ajang untuk syiar Islam yang bisa dilihat dari beberapa simbul yang digunakannya. Upacara tersebut waktu pelaksanaannya diadakan pada masa-masa puncak panen. Semua itu dilakukan sekaligus sebagai luapan rasa syukur dikalangan masyarakat setelah mereka bisa menikmati hasil panen.
Perkembangan dan perubahan tradisi perang obor ini juga dipengaruhi oleh perubahan ekologi dan ekonomi. Pada zaman dahulu, untuk mengumpulkan pelepah daun kelapa dan daun pisang kering bukanlah pekerjaan yang sulit. Pada saat ini ketika jumlah pohon kelapa sudah mulai berkurang seringkali para peserta harus membeli daun kelapa daun tersebut dengan cara memesan terlebih dahulu untuk kepentingan upacara. Kesulitan ini juga berhubungan dengan jumlah penggembala yang tidak lagi sebanyak zaman dulu. Pada masa duhulu jika menjelang upacara perang obor, para perangkat desa tinggal memberi tugas kepada penggembala dan orang yang memiliki sapi untuk menyiapkan daun kelapa kering dan bahkan memerintahkan mereka untuk menjadi pemain utama dalam upacara tersebut. Semua ini juga berkaitan dengan kenyataan bahwa legenda perang obor ini berasal dari dunia penggembalaan. Pada saat ini sudah semakin sedikit orang yang berprofesi sebagai buruh penggembala maka para pemain perang obor biasanya para pemuda desa yang mempunyai nyali untuk melakukan upacara ini dan biasanya mendapatkan upah dari pemerintahan desa.
C.       Tujuan Penyelenggaraan

Jika diamati secara seksama, pada saat ini upacara tradisi perang obor merupakan upacara selamatan yang dilakukan oleh warga Tegalsambi untuk melakukan syukur kepada Tuhan yang telah memberikan hasil panen kepada segenap masyarakat desa Tegalsambi. Upacara selamatan atas keberhasilan panen dari warga desa ini sangat berbeda dengan daerah lain. Upacara dilakukan pada malam hari dengan acara puncak Perang Obor. Para peserta perang obor dengan menggunakan obor masing-masing saling menyerang maka seluruh peserta dapat menyelesaikan perang obor tersebut dengan selamat. Selain perang obor sebetulnya ada juga perang ketupat, ada juga yang wajib memandang matahari. Semua untuk bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi berkah. Dengan demikian pada saat ini tradisi perang obor merupakan upacara dalam rangka sedekah bumi desa Tegalsambi yang bertujuan untuk bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan hasil panen yang melimpah.

D.       Manfaat

Menurut penuturan dari para sesepuh desa Tegalsambi, bahwa manfaat upacara manganan ini pada awalnya adalah untuk mengusir kekuatan jahat pembawa wabah penyakit. Namun demikian dengan datangnya prngaruh Islam, upacara ini difungsikan sebagai memanifestasikan rasa syukur kepada Tuhan dan dalam rangka untuk membangun kebersamaan dan kegotong-royongan diantara warga desa Tegalsambi.

E.       Peralatan dan Simbul-simbul Upacara

Peralatanutamapeserta dengan dibekali kepercayaan dari sesepuh desa yang dibutuhkan dalam upacara perang obor ini adalah pelepah daun kelapa kering (blarak). Selain itu juga dibutuhkan daun pisang kering sebagai campuran bahan pembakar daun kelapa tersebut. Campuran pelepah daun kelapa kering dengan daun pisang ini kemudian ditata dengan bentuk tertentu sehingga bisa digunakan untuk memukul ataupun menusuk lawan. Pakaian yang digunakan sudah menggunakan seragam khusus untuk acara ini. Pada saat ini para pemain cenderung menggunakan pakaian yang bisa melindungi badan mereka dari pukulan obor yang bisa membuat kulit menjadi melepuh. Namun demikian pada zaman dahulu para pemain justru menggunakan pakaian yang sudah jelek dengan pertimbangan jika terbakar mereka tidak merasa sangat kehilangan. Jadi peralatan obor yang terbuat dari daun kelapa dan daun pisang kering merupakan peralatan yang memang sesuai dengan apa yang diceritakan dalam legenda Kyai Babadan dan Ki Gemblong. Sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa obor dapat merepresentasikan sebuah simbul yang merupakan alat untuk mengusir kekuatan jahat yang mendatangkan penyakit dan berbagai malapetaka yang lain. Peralatan yang digunakan adalah beberapa benda yang dipandang keramat oleh masyarakat desa Tegalsambi yang diarak pada waktu prosesi perang obor akan berlangsung yaitu sebuah arca, dua pedang kayu, dan bedug. Ada kemungkinan bahwa arca itu merupakan perwujudan dari arwah nenek moyang yang bisa melindungi desa (dhanyang). Namun demikian anggapan seperti itu pada saat ini sudah hilang seiring dengan pemahaman masyarakat yang semakin mendalam tentang agama Islam. Sementara itu dua buah pedang kayu dan sebuah bedug yang diyakini oleh masyarakat sebagai peninggalan Sunan Kalijaga jelas merepresentasikan simbul-simbul kekuatan dalam syiar Islam. Dari hal tersebut dapat dijelaskan bahwa Islam bukanlah agama yang lemah tetapi agama yang kuat (disimbolkan pedang), namun masih tetap mengedepankan ajakan-ajakan yang persuasif (disimbolkan dalam bedhug).
Menurut berbagai sumber informasi tidak banyak orang yang dapat melihat pusaka-pusak tersebut karena ditempatkan disebuah ruangan khusus yang primpen dirumah kepala desa. Terdapat cerita bahwa dahulu pernah ada kamerawan TV swasta yang mengambil gambar pusaka itu tetapi gambar tersebut tidak dapat muncul dikamera. Layaknya seorang bayi, pusaka dari kayu sepanjang 40 cm itu diblebet kain putih berposisi menggantung di dipan kecil. Ujung atas pusaka tersebut diberi alas bantal kecil, juga terdapat bantal guling di sisi kanan dan kirinya. Menurut kepercayaan, siapapun petingginya, harus rela rumahnya menjadi  tempat pusaka itu. Para kepala desa biasanya meyakini bahwa pusaka-pusaka itu ditunggui oleh khodam atau semacam makhluk halus. Mereka yakin bahwa sedikit saja terjdi penyimpanga-penyimpangan dalam tugas sebagi kepala desa maka akan berakibat fatal. Dengan demikian pusaka-pusaka itu menjadi pengeling atau sebagai pembei peringatan jika akan berbuat penyimpangan.
Ada juga cerita yang mengatakan bahwa pedang kayu berasal dari kayu reng masjid Demak yang diambil Ki Dawuk, leluhur Tegalsambi, sebagai senjata dalam peperangan antara kerajaan Demak pada masa Raden Fatah dan Kerajaan Blambangan. Nama Dawukyang dalam bahasa Jawa berarti abu-abu yang merupakan warna kuda tunggangan Ki Dawuk. Namun, saat ini makam Ki Dawuk diTegalsambisudah musnah (moksa).

F.        Prosesi Upacara

Perang obor dilakukan oleh sekitar 50 orang warga desa. Jika kulit melepuh atau lebam kena gebuk akibat perang itu,luka tersebut bisa dipulihkan dalam sekejap dengan olesan londoh. Oleh masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai keajaiban dari Tuhan. Hal semacam ini bukan hanya diyakini olehmasyarakat awam juga dari pimpinan didesa itu. Namun demikian para perangkat desa tidak mau menjelaskan air londoh itu berasal dari mana dan apa formulannya.
Tradisi perang obor merupakan ungkapan rasa terimakasih manusia kepada Tuhan yang telah memberi rejeki kepada masyarakat desa Tegalsambi melalui panen yang melimpah. Biasanya upacara ini dilakukan setiap setahun sekali dengan memilih waktu yang tepat dan pada malam senin pahing. Apa yang sangat menarik adalah bahwa jika ada perang obor,warga Tegalsambi dirantau pun rela meninggalkan pekerjaannya untuk pulang kampung. Mereka yakin bahwa apa yang dilakukannya akan membuat desanya selamat dari marabahaya dan sekaligus sebagai ungkapan  rasa syukur kepada Tuhan.
Sebelum acara perang obor dimulai, terlebih dulu diadakan selamatan ditujuh tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Tegalsambi. Setelah itu dilakukan penyembelihan seekor kerbau jantan muda yang belum pernah dipakai untuk membajak. Penyembelihan ini dilakukan dirumah kepala desa. Pada pukul 17.30 (menjelang malam senin pahing)salah satu perangkat desa (biasanya bayan/seksi keamanan) menaruh sesaji (berupa kendil berisi darah kerbau,sebagian jeroan,dan daging yang sudah dimasak). Sesaji ini diperuntukan bagi para dhanyang yang dipercayai ikut menentukan keselamatan desa Tegalsambi.
Menjelang pukul 20.00,sepanjang jalan menuju kerumahnya dipadati ribuan pengunjung baik dari desa setempat maupun desa-desa lain. Sebelum api obor disulut pada pukul 20.00,petinggi desa diarak oleh pasukan obor mulai dari rumahnya hingga kepusat upacara diperempatan jalan tengah desa.petinngi menggenakan pakaian adat jawa,diapit dua pawang api dan sesepuh desa.
Tepat pukul 20.00, upacara perang obor dimulai. Para peserta yang punggut biaya sebesar Rp 2.500,- perorang memakai seragam khusus, bersepatu dan bertutup kepala. Doa-doa memohon restu kepada dhanyang(pengusaha bumi Tegalsambi) pun dilakukan. Kemenyan dibakar, kemudian diiringi gending Kebo giro 50 orang dari empat jurusan dijalanan desa Tegalsambi menghambur keperempatan jalan.
Diiringi sorak-sorai dan jerit ketakutan para penonton, mereka main gebuk dengan obor. Tak peduli yang digebuk kakak, adik, orang tua atau mungkin kakeknya. Percik-percik bunga api menjadi pemandanagn tersendiri dipesisir teluk awur itu. Hal ini dimulai ketika salah satu dari’pemain’ perang obor ini berteriak : “Seraaang...!” Para anggota pasukan yang menggunakan sepatu dengan celana dan baju pembungkus rapat, kepala mereka tertutup topi, caping atau helm pelindung dan hanya dua mata yang terlihat membelalak branggas itu segera siap sedia. Mendengar teriakan itu, anggota pasukan lari dari empat arah berlawanan diperempatan jalan. Mereka bertemu ditengah dan berlangsung saling hajar. Api yang bekobar dujung obor mereka arahkan kekepala “lawan” –nya. Upacara berlangsung bukan hanya diperempatan desa tetapi juga disepanjang jalan disekitar perempatan.
Di tengah–tengah atraksi yang penuh kekerasan itu anak-anak dgendongan ibunya disekitar kejadian ada yang menangis pilu melihat pijar api dan mendengar teriakan-teriakan “perang” . kontras dengan sebagian anak yang menangis, sebagian besar ribuan mata yang menyaksikan justru sorak-sorai dan bertepuk tangan riuh. Mereka bahkan ‘memprovokasi’ sekelompok anggota pasukan untuk memadamkan bara api lawannya. Meski demikian, senyum hangat dan keakraban tampak ditengah ‘provokasi’. 
Sesuai upacara perang obor bnyak anggota pasukan obor yang ditangannya terluka lecet. Sekitar satu jam ‘peperanagan’ usai para anggota pasukan langsung menuju rumah kepala desa untuk menerima uang lelah sekadarnya sekaligus mengobati luka dengan air kembang dari pusaka desa bernama Ki Songgo Buwono yang diruwat dirumah kepala desa. Dengan demikian, upacara perang obor tak bisa lepas dari keberadaan pusaka tesebut.


LAMPIRAN

Do'a bersama sebelum acara dimulai









Gulungan zobor yang akan digunakan dalam upacara
Prosesi perang obor

Kemeriahan perang obor
 
Para pemain sedang menyembuhkan luka bakar dengan londoh














































0 komentar:

Posting Komentar